Sabtu, 05 September 2009


Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (3)

Terkecik Harga Bahan Baku Yang Terus Melambung

Setelah dihadapkan pada kenyataan krisis dimana daya serap pasar ekspor yang menurun dratis. Pengrajin gerabah Kasongan, rupanya terus dibayangi persoalan bahan baku. Lempung atau tanah liat makin sulit didapat, toh ada mesti harus diambil dari luar daerah. Otomatis harga lempung pun saban hari terus melonjak. Begitu juga dengan kayu, untuk pembakaran gerabah yang juga tidak mau ketingalan harganya terus merangkak. Alhasil margin keuntungan yang diterima pengrajin kian menipis.

PASAR ekspor belum juga sembuh karena imbas krisis. Para pengrajin gerabah di dusun Kasongan, Bantul, Yogyakarta juga dihadapkan bayang-bayang persoalan yang terus menyelimuti usaha turun-temurun ini. Harga lempung atau tanah liat dan kayu bakar adalah dua hal yang kini menjadi perbincangan serius diantara para pengrajin.

"Ngak tahu ini, kayu bakar sama tanah liat terus naik. Sekarang jadi mahal sejak adanya kenaikan harga BBM," papar Pairan pemilik Pairan Ceramic.

Padahal kedua bahan baku tersebut merupakan bahan baku utama dalam proses pembuatan gerabah. Sebut saja lempung yang dulunya harganya Rp 100 ribu untuk satu pick up, kini merangkak naik menjadi Rp 400 ribu. "Itu sudah berapa kali lipat naiknya," jelas Ngadiyana salah satu pengrajin gerabah.

Selain karena kena imbas dari naiknya BBM, melonjaknya harga tanah liat juga karena makin sedikitnya jumlah pasokan tanah liat yang ada di dekat daerah Kasongan. "Biasanya tanah liat diambil di Gunung Bagunjiwo deket sini, tapi mulai sedikt beralih ke daerah Godean. Otomatis dari segi jarak makin jauh trus pengaruh ke ongkos transportasinya," papar Pairan.

Memang tidak bisa sembarang tanah liat yang dapat digunakan dalam pembuatan gerabah. Dulu memang orang Kasongan membuat gerabah dari lempung hitam, tapi sekarang tuntutannya menggunakan lempung merah. "Kan ngak bisa hanya pakai lempung saja. Harus dicampur dengan wedi atau pasir halus supaya pas waktu pengeringan tidak gerabahnya tidak pecah," katanya.

Hal sama juga ada pada kayu bakar, harganya naik karena pasokannya kian terbatas. Biasanya warga mendapatkan kayu bakar untuk satu truknya dengan harga Rp 600 ribu, sekarang naik sampai Rp 1 juta. "Untuk satu truk biasanya habis dalam waktu tiga hari. Ini juga tergantung cuaca juga kalau tidak hujan kayu bisa dipakai sampai empat hari," jelasnya.

Kenaikan ini bahan baku ini memang menjadi tidak seimbang jika dibandingkan proses yang cukup panjang dalam pembuatan gerabah. Pembuatan gerabah atau keramik, mulai dari proses penggilingan, pembentukan bahan dengan menggunakan perbot, hingga penjemuran produk biasanya memakan waktu 2-4 hari. Produk yang telah dijemur itu kemudian dibakar selama 12 jam, sebelum akhirnya proses finishing dengan menggunakan cat tembok atau cat genteng.

Padahal harga gerabah oleh pengrajin sudah tidak bisa dikatrol lagi untuk menutupi ongkos pengeluaran yang kian membengkak. Sebut saja harga gerabah bentuk pot berkisar Rp 6 ribu sampai Rp 60 ribu, guci dari Rp 10 ribu sampai Rp 50 ribu, kap lampu dari Rp 15 ribu sampai Rp 35 ribu, dan set meja kursi dari Rp 100 ribu sampai Rp 400 ribu.

Pairan menuturkan omset saban bulannya sekarang mencapai Rp 3 juta sampai Rp 4 juta. Dengan margin keuntungan sekitar 20%. Padahal saat harga bahan baku belum naik dan pasar lagi bagus-bagusnya. Omset saban bulannya yang didapat Pairan paling kecil banget itu Rp 5 juta. "Kaya jaman dulu itu nyari duit gampang banget," jelasnya.

Umumnya pengrajin gerabah Kasongan memilih menunggu bola ketimbang mencari pelanggan. Pasalnya jauh lebih menguntungkan jika menjual secara retil ke pelanggan yang datang ke workshop. Diakui oleh Ngadiyana jika menjual secara retil margin keuntungannya bisa mencapai 80%. Berbeda jika dijual kesejumlah bakul atau pengecer, margin keuntungannya sangat tipis.

"Kalau kondisi saat sekarang ini yang lagi sepi, kita biasanya menghubungi bakul untuk menjual gerabah. Mengambil keuntungan sekitar Rp 5 ribu lah. Kalau ngecer bisa banyak," kata Ngadiyana.

Tidak dipungkiri lagi, semangat melanjutkan kerajinan turun-temurun ini lambat laun kian memudar. Sebagian generasi muda Kasongan tampaknya mulai enggan untuk melanjutkan usaha ini karena dinilai tidak mempunyai prospek. Sebut saja Bejo, yang sudah enam tahun sebagai pembuat gerabah. Yang berencana suatu saat akan berhenti menjadi pembuat gerabah. "Kalau dilihat kondisi sekarang dimana tanah liat semakin susah. Ke depan sih ngak tahu gimana nasibnya tapi saya ngak selamanya akan jadi tukang pembuat gerabah," jelasnya.

Cukup miris mendengarkanya, tapi ini menjadi kenyataan yang terjadi di industrik kerajinan di Kasongan dan mungkin hampir di seluruh industri kerajinan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar