Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (1)
Berusaha Untuk Bangkit Kembali
Sentra industri gerabah Kasongan Bantul sempat mengalami masa paling terpuruk, manakala gempa besar meluluhlantahkan seluruh sentra ini. Pasca gempa, tak ada aktivitas sekecil pun dapat dilakukan oleh para pengrajin gerabah. Butuh waktu sekurangnya satu tahun untuk dapat memulihkan kondisi kembali normal. Setelah kurun waktu tiga tahun ini, energi kebangkitan industri gerabah kembali tampak. Pengrajin mulai kebanjiran pesan dari berbagai daerah maupun pasar ekspor. Bahkan jumlah transaksi usaha gerabah tahun ini telah melampaui pencampaian sebelum gempa.
TANGGAL 27 Mei 2006, tanah Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul luluh lantah rata dengan bumi. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter benar-benar menghancurkan seluruh sentra gerabah paling besar di Yogyakarta. Ibarat jarum jam berhenti berputar, denyut nadi kehidupan warga Kasongan yang bertumpu pada kerajinan gerabah seolah terhenti.
"Semua bener-bener hancur, gerabah saya semua pecah trus tungku pembakaran juga rusak. Otomatis kita tidak bisa bikin gerabah. Ini lebih beruntung karena rumah tidak rusak parah, tapi bayangkan yang rumahnya turut rusak," papar Pairan, pemilik Pairan Ceramics.
Tidak lebih butuh waktu hampir satu tahun lamanya, kondisi Kasongan dapat kembali pulih seperti semula. Semua ini tentunya tidak lepas dari peran lembaga swadaya masyarakat yang ikut membantu membangun kembali Kasongan.
Diakui oleh Ngadiyana, ketua Kasongan Usaha Bersama bahwa pasca gempa 2006 aliran dana bantuan begit banyak datang ke Kasongan. Meski demikian tidak semuanya bantuan tersebut tepat sasaran sesuai kebutuhan warga yang rata-rata berprofesi sebagai pengrajin gerabah.
Meski demikian beberapa bantuan sesauai dengan harapan warga yakni seperti pembangunan bengkel kerja gerabah, bantuan bahan baku siap pakai selama satu tahun, dan perbaikan jalan sepanjang 1000 mx 3 m. "Selain itu juga dibantu pembuaan triple blower untuk pengering senilai Rp 60 juta," papar Ngadiyana.
Tidak mengherankan jika geliat industri gerabah mulai terasa hangat di sepanjang jalan desa yang jaraknya sekitar 8 km ke arah barat daya dari pusat Kota Yogyakarta atau sekitar 15-20 menit berkendaran dari pusat kota. Kendaraan-kendaran pribadi maupun wisata tampak hilir mudik disepanjang jalan dusun.
Gapura selamat datang di pintu masuk jalan dusun akan menyambut siapa saja yang berkunjung ke sentra kerajinan berbahan baku tanah liat atau lempung ini. Kios-kios gerabah dengan aneka kerajinan gerabah berjejer rapi disepanjang jalan desa memamerkan segala jenis gerabah.
Seperti kepala binatang, motif binatang, vas bunga, pot, meja kursi, dan sebagainya. "Padahal dulu itu warga sini cuma bisa bikin gerabah khusus keperluan rumah tangga seperti kendi (wadah air minum), kendil (wadah untuk memasak), gentong (wadah air), anglo (kompor – tempat pembakaran dengan bahan bakar arang untuk memasak)," papar Pairan.
Transaksi bisnis gerabah Kasongan pada 2009 bahkan telah melampaui pencapaian sebelum gempa. Jika pada 2006 transaksinya sebesar Rp 7,426 miliar, maka pada 2009 nilai produksinya mencapai Rp 8,053 miliar. Negara-negara seperti Australia, Belanda, Swis, Kanada, Selandia Baru, Jepang, Jerman, Belgia, dan Malaysia dikenal sebagai pasar gerabah Kasongan ini
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul mencatat, pada 2009 unit usaha kerajinan gerabah Kasongan jumlahnya telah mencapai 441 unit, melebihi jumlah sebelum gempa yang sebanyak 401 unit.
Gempa atau lindu memang telah meluluh lantahkan bumi Kasongan, namun hal itu tidak meluluhkan semangat warga Kasongan. Gerabah mempunyai nilai sendiri bagi masyarakat setempat dengan sejarah yang panjang mengikutinya. Sejak 1675, saat Kyai Song, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro, untuk pertama kali mengembangkan pembuatan tembikar untuk perkakas dapur. "Nama Kasongan itu diambil dari nama Kyai Song," papar Ngadiyana.
Tradisi membuat gerabah diteruskan oleh generasi Mbah Jembuh yang pada 1875-1885 mengembangkan gerabah untuk hiasan dinding dan celengan, dengan mengambil bentuk kepala binatang dan buah-buahan. Pada 1825, Mbah Rono dan Mbah Giyah juga mengembangkan anglo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar