Sabtu, 05 September 2009


Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (2)

Terombang-Ambing Terkena Hantaman Badai Krisis

Krisis yang melanda dunia benar-benar telah memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan industri gerabah Kasongan. Oleh karena krisis inilah omset pengrajin langsung anjlok. Pasar ekspor yang merupakan pasar utama dari gerabah, sejak beberapa bulan terakhir sepi dari orderan. Dengan kondisi seperti ini tidak mengherankan jika beberapa workshop gerabah memilih melakukan efisiensi merumahkan sebagian pegawainya. Pengrajin pun kembali menekuni profesi alasanya diantara menjadi tukang becak.

GELIAT pertumbuhan industri gerabah Kasongan di kabupaten Bantul, Yogyakarta pasca gempa, bisa dibilang sangat mengagumkan. Dalam kurun waktu satu tahun, Kasongan mampu pulih bahkan pencampainya lebih besar ketimbang sebelum terjadi gempa. Lihat saja jumlah produksi gerabah Kasongan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pengrajin.

Namun, baru sebentar merasakan euphoria dari energi kebangkitan pasca terjatuh. Para pengrajin harus dihadapkan pada cobaan yang tidak kalah besar dampaknya jika dibandingkan tragedi 27 Mei 2006. Krisis yang melanda dunia, benar-benar mampu merontokkan industri kerajinan tanah liat ini secara perlahan.

Pasalnya, karena krisis ini orderan kerajinan gerabah menjadi sepi. Tentunya berdampak besar pada omset yang didapatkan oleh pengrajin gerabah saban bulannya. "Wah, selama krisis ini benar-benar anjlok. Turun bisa sampai 80% omset yang diterima," jelas Timbul Raharja, pemilik Timboel Ceramic.

Menurut Timbul, yang juga menjabat Ketua Koperasi Setya Bawana Kasongan menjelaskan bahwa keterpurukan ini karena permintaan dari pasar ekspor khususnya eropa yang tidak lain menyerap 80% dari keseluruhan pasar gerabah, sama sekali terhenti. "Biasanya saya bisa mengirim gerabah ke luar itu 60 kontiner, sekarang sekitar tiga sampai lima kontiner tiap bulannya," tuturnya.

Padahal, nilai tiap satu kontiner gerabah yang dikirim mencapai Rp 60 juta. Jadi bisa dibayangkan berapa besar nilai omset yang menghilang selama krisis ini. "Sekarang dengan tiga kontiner omset saya sekitar Rp 240 juta, coba kalau dulu bisa berapa saya dapatkan," jelasnya.

Kondisi ini dirasakan sejak pertengahan tahun 2008 sampai sekarang ini. Tidak mengherankan jika krisis yang sudah berjalan hampir satu tahun lamanya ini membuat pusing tujuh keliling. "Kondisinya lebih baik pasca gempa dimana secara internal Kasongan sakit tapi di luar artinya permintaanya tidak dan justru bagus. Sekarang malah kebalikannya, di luar sakit di sini tidak," kata Ngadiyana, salah satu pengrajin gerabah Kasongan.

Tidak mengherankan jika sebagian workshop gerabah di Kasongan memilih melakukan efisiensi. Dalam hal ini mengurangi jumlah tenaga kerjanya. "Ditempat saya kalau tenaga fungsionalnya ada dua yang dirumahkan, tetapi kalau tenaga pengrajinnya banyak yang kemudian tidak bekerja lagi," jelasnya.

Padahal Kasongan sebagai sentra industri, sejauh ini mampu menyerap sekian banyak tenaga kerja. Dengan 581 buah home industri yang ada, jumlah tenaga kerja mencapai 6000 pegawai. Tidak mengherankan jika beberapa bulan terakhir ini, mudah ditemukan orang Kasongan yang kemudian berprofesi menjadi tukang becak dan kembali ke sawah sambil memelihara bebek.

Sebenarnya dengan kondisi krisis yang menerpa ini, para pengrajin gerabah Kasongan tidak tinggal diam. Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya dengan mencari pasar baru selain pasar Eropa. "Kita mulai bidik pasar kaya di Eropa Timur, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Australia," jelas Timbul.

Tidak terkecuali menggali kembali potensi pasar di dalam negeri. Tetapi hal itu tidak semudah seperti mengembalikan telapak tangan. Khusus untuk pasar lokal, ternyata kendala terbesar pada biaya pengiriman yang ongkosnya bisa jauh lebih besar ketimbang ongkos untuk mengirim barang ke luar negeri.

Timbul yang juga seorang dosen di Institut Seni Indonesia ini, mengungkapkan pengalamannya bahwa ongkos pengirim barang di dalam bisa lebih besar 100% daripada untuk ekspor. "Saya pernah kirim ke Batam itu biasanya bisa mencapai US$ 2000, padahal kalau saya kirim ke Australia cuma US$1000," tuturnya.

Hal ini mungkin karena masih banyaknya praktek pungutan liar yang terjadi di setiap pengiriman barang. Besarnya imbas karena krisis ini, tentunya membuat kegelisahan tersendiri bagi Timbul, Ngadiyana, dan ratusan pengrajin gerabah Kasongan lainnya. Tidak mengherankan jika dalam hati meraka menjerit berharap ada langkah dari pemerintah membantu keberlangsungan industri gerabah. "Pemerintah di sini mungkin bisa membantu membangkitkan pasar gerabah lagi," kata Ngadiyana




Tidak ada komentar:

Posting Komentar