Sabtu, 05 September 2009


Sentra Brownies Rawa Lumbu Bekas



Sentra Industri Brownies Rumahan, Rawa Lumbu, Bekasi (2)

Omset Menurun Dalam Setahun Ini

Sudah hampir satu tahun ini, omset para pengusaha kue brownies di Taman Narongong menurun dratis. Rupanya usaha ini juga kena imbas krisis sekarang ini. Serapan kue brownies turun hampir 50% karena daya beli yang mulai berkurang. Maklum saja, kue brownies jika dibandingan kue lainnya masih tergolong mahal. Hal ini yang mungkin mendasari para pelanggan brownies Narongong sedikit mengerem pembeliannya. Meski demikian, harapan dari berkah lebaran segera menghampiri para pengusaha ini. Pasalnya kalau sudah masuk bulan puasa dan mendekati lebaran permintaan bisa melonjak beberapa kali lipat.

AWAN mendung krisis, rupanya juga memayungi industri rumahan kue brownies dan cake perumahan Taman Narogong, Rawa Lumbu, Bekasi. Pasalnya, krisis ini dianggap biang kerok menurunnya omset dari penjualan kue brownies dan cake. "Sejak pertengahan 2008 itu omset mulai menurun pas adanya krisis ini, sampai sekarang," papar Auza'i, pemilik Furiz Brownies.

Alasannya, menurut Auza'i karena krisis ini berdampak menurunkan daya beli orang terhadap kue coklat bantat ini. Maklum saja, dilihat dari segi harga kue brownies ini relatif lebih mahal ketimbang kue lainnya. "Kemaren kan harga-harga lumayan mahal, trus beberapa pabrik ada yang tutup dan pekerja banyak yang di PHK. Otomatis untuk beli brownies orang mikir-mikir," tuturnya.

Kondisi ini memang secara langsung berdampak kepada usaha pembuat kue brownies Narongong. Dimana selama ini yang menjadi segmen pasar terbesar dari kue brownies ini adalah para karyawan pabrik, pegawai perusahaan, dan pegawai PNS.

Sebut saja Auza'i yang juga ketua Himpunan UKM Makanan dan Minuman kota Bekasi mengaku sejumlah agen kue brownies yang berada di beberapa pabrik, departemen, dan perkantoran di Jakarta dan Bekasi mulai berkurang. Dari sekitar 16 agen, sekarang tinggal 10 agen yang masih aktif memasarkan kue browniesnya.

Alhasil tidak mengherankan jika omset pria bertubuh gemuk ini dari usaha kue brownies turun sampai 50%. "Bisanya dalam sebulan bisa 1500 dus, yaa sekitar Rp 37 juta. Sekarang cuma bisa jual per bulannya 700 dus. Kalau marginnya sekaran ya sekitar 30%," jelasnya.

Namun, cerita berbeda dialami oleh Mansyur pemilik Echo's Brownies. Meski banyak pengusaha brownies mengeluh karena imbas krisis. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai PNS ini mengaku usaha tetap lancar. Sedikit pun tidak mengalami penurunan permintaan.

"Permintaan biasa aja, tiap hari biasanya ada pesanan sampai 20 dus. Kalau pas weekends itu bisa banyak naik 60 dus sampai 80 dus. Ya jadi sebulan sekitar Rp 10 juta sampai Rp 15 juta dengan marginya sekitar 30%.," jelasnya.

Memang jika dibandingkan dengan Auza'i, kapasitas produksi Echo's Brownies lebih kecil. Maklum saja usaha kue brownies yang dijalanin oleh Mansyur masih sebatas sampingan. Tenaga kerjanya pun hanya Mansyur dan istrinya. Meski demikian, keduanya sama-sama mengandalkan usahanya dari pesanan dari para pelanggannya.

"Di sini sih lebih bersifat nunggu bola, bukan jemput bola. Kalau kondisi sekarang memang cukup susah. Padahal dulu pas awal-awal saya getol promo dengan menawarkan siapa saja yang mau jadi agen. Tapi sekarang saya milih untuk tidak, mempertahankan yang ada sekarang," jelas Auza'i yang bisa dipanggil akrab Ja'i.

Meski demikian, para pengusaha kue Narongong tetap optimis menjalankan usahanya. Lebih-lebih seperti saat sekarang ini dimana telah masuk di bulan puasa. Artinya sebentar lagi para pengusaha brownies akan merasakan berkah menjelang lebaran. Dimana seperti tahun-tahun sebelumnya kalau menjelang lebaran permintaan brownies bisa melonjak dratis hampir beberapa kali lipat.

"Tadi tuh misal tiap bulan sekitar paling banyak 80 dus, kalau lebaran bisa mencapai 220 dus. Itu mulai terasa permintaannya sekitar tujuh hari sebelum lebaran," jelas Mansyur.

Oleh karena saking banyaknya, tidak mengherankan jika pengusaha kue brownies banyak kewalahan. Sejumlah pesanan pun terpaksa ditolak. "Kue ini kan ngak bisa distok terlalu lama, masa tahannya cuma tiga hari untuk kukus dan 7 hari untuk panggang. Maklum saja industri kita masih skala rumahan yang terbatas kapasitasnya," tutur Auza'i.

Dengan adanya berkah lebaran ini, diharapkan akan menjadi obat setelah satu tahun lamanya usaha brownies lesu.

Sentra Rata TengahIndustri Brownies Rumahan, Rawa Lumbu, Bekasi (1)

Brownies Rumahan yang Kelezatannya Sampai Negeri Singa

Tidak hanya Bandung saja yang terkenal dengan kue browniesnya. Rupanya di daerah Bekasi Timur, tepatnya di Perumahan Taman Narogong Indah kue brownies bisa dibilang menjadi sentra produksinya. Pasalnya di perumahan tersebut ada sekitar 20 tempat usaha pembuatan kue bantat ini. Meski hanya berskala rumahan, kelezatannya kue brownies Narogong sudah tersebar sampai seluruh Jabodetabek, bahkan telah sampai Singapura.

JIKA berkunjung ke Bandung, satu hal yang mungkin tidak pernah dilupakan adalah membawa buah mata semacam oleh-oleh. Satu dari sekian banyak buah tangan dari Bandung tidak lain adalah brownies. Kue coklat yang biasanya dikukus bantet sehigga menghasilkan tekstur yang agak keras ini benar-benar begitu populer di kota kembang tersebut. Dengan mudah diberbagai sudut kota, menemukan pedagang yang menjajakan kue brownies yang rata-rata kebanyakan berlabel Amanda.

Jika melangkahkan kaki ke perumahan Taman Narogong Indah, Rawa Lumbu, Bekasi. Kondisinya tidak jauh berbeda seperti halnya di kota Bandung. Kue brownies begitu populernya dan sangat digemari warga sekitar. Sehingga tidak mengherankan disepanjang jalan perumahan dengan mudah menemukan outlet-outlet yang menjajakan kue ini.

Berbeda dengan yang ada di Bandung, bisa dibilang hanya ada satu merek kue brownies yang terkenal. Justru kalau di Taman Narogong, ada sekitar 17 merek kue brownies. "Oleh karena itu taman Narogong bisa dibilang sentra untuk kue brownies karena di sini banyak yang buatnya meski berskala rumahan," jelas Auza'i, pemilik Furiz Brownies.

Sebut saja seperti Furiz Brownies, Echo's Brownies, Han's Brownies, Endysa's, Maulin's, Fadila, Kitari, Ellys, Lariso dan lain-lainnya. "Di sini yang pasti pelanggan lebih banyak pilihan untuk membeli kue brownies," kata Auza'i yang juga menjabat Ketua Himpunan UKM Makanan dan Minuman Kota Bekasi.

Auza'i atau lebih akrab dipanggil Ja'i menuturkan mencuatnya nama Taman Narogong menjadi sentra kue brownies mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 2004. Awalnya ada salah seorang warga bernama Tatang, salah seorang pegawai bank nasional yang mengajarkan keahliannya membuat kue bantat ini kesejumlah warga. "Dulu saya ikut bantu sekitar tiga bulan dipabriknya, setelah itu saya usaha mandiri dengan mendirikan Furiz Brownies. Ini terus berkembang sampai sekarang dan diikuti sejumlah warga di sini," tuturnya.

Rata-rata usaha pembuatan kue brownies di Narogong adalah skala rumahan. Dengan menjadikan rumah tempat pembuatan kuenya, dengan tenaga kerja yang terbatas. "Ini di tempat saya hanya berdua, saya dan istri yang mengerjakan. Ini juga masih dibilang sampingan," tutur Mansyur, pemilik Echo's Brownies.

Tapi ini menjadi hal yang unik, pasalnya aktivitas kegiatan membuat kue dapat terlihat dari luar rumah. Meski demikian, jangan sangsikan soal mutu dan kualitas produk kue brownies bikinan Narogong. Sebagian besar produk usaha rumahan ini rata-rata sudah mempunyai sertifikat halal dan izin dari Departemen Kesehatan. "Apalagi soal mutu rasa, ngak kalah sama buatan di Bandung. Bisa dicoba," kata Mansyur sambil promosi.

Oleh karena semakin harumnya kue brownies dan lapis legit buatan Narogong, dalam kurun waktu singkat beberapa BUMN kepincut untuk meminang sebagain beberapa usaha rumahan ini untuk dijadikan salah satu binaanya. Telkom, PLN, dan Jasa Marga cabang Jakarta-Cikampek adalah contoh beberapa BUMN yang membina para pengusaha brownies ini. "Alhamdulilah saya menjadi binaan dari Jasa Marga, dimana dibantu dari segi dana. Terakhir platfon saya sudah Rp 15 juta," kata Auza'i.

Saking kondusifnya iklim usaha brownies ini, pemerintah Bekasi sendiri kemudian ikut memfasilitasi dalam kemajuan industri ini. Salah satunya dengan pengurusan izin usaha melalui Dinas Perekonomian dan Koperasi serta hak kekayaan intelektual merek dagang atau hak paten.

Dengan kelengkapan atribut tersebut, tentunya semakin memperlancar segala usaha brownies ini. Harum lezatnya kue brownies tidak hanya dinikmati warga sekitar Bekasi dan Jabodetabek. Bahkan, kini telah sampai ke negeri tetangga yakni Singapura. "Selama dua tahun ini, ada pelanggan dari Singapura yang bawa brownies saya untuk di jual di sana. Masih sedikit sih jumlahnya sekitar 250 dus," kata Auza'i.

Nah, kalau sudah begini mungkin sebentar lagi brownies akan menjadi buah tangan oleh-oleh khas Bekasi. "Banyak tamu dari pemda Bekasi yang di bawa ke sini. MIsal kemarin rombongan DPRD Tulungagung membeli brownies sebagai oleh-olehnya," katanya.



Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (3)

Terkecik Harga Bahan Baku Yang Terus Melambung

Setelah dihadapkan pada kenyataan krisis dimana daya serap pasar ekspor yang menurun dratis. Pengrajin gerabah Kasongan, rupanya terus dibayangi persoalan bahan baku. Lempung atau tanah liat makin sulit didapat, toh ada mesti harus diambil dari luar daerah. Otomatis harga lempung pun saban hari terus melonjak. Begitu juga dengan kayu, untuk pembakaran gerabah yang juga tidak mau ketingalan harganya terus merangkak. Alhasil margin keuntungan yang diterima pengrajin kian menipis.

PASAR ekspor belum juga sembuh karena imbas krisis. Para pengrajin gerabah di dusun Kasongan, Bantul, Yogyakarta juga dihadapkan bayang-bayang persoalan yang terus menyelimuti usaha turun-temurun ini. Harga lempung atau tanah liat dan kayu bakar adalah dua hal yang kini menjadi perbincangan serius diantara para pengrajin.

"Ngak tahu ini, kayu bakar sama tanah liat terus naik. Sekarang jadi mahal sejak adanya kenaikan harga BBM," papar Pairan pemilik Pairan Ceramic.

Padahal kedua bahan baku tersebut merupakan bahan baku utama dalam proses pembuatan gerabah. Sebut saja lempung yang dulunya harganya Rp 100 ribu untuk satu pick up, kini merangkak naik menjadi Rp 400 ribu. "Itu sudah berapa kali lipat naiknya," jelas Ngadiyana salah satu pengrajin gerabah.

Selain karena kena imbas dari naiknya BBM, melonjaknya harga tanah liat juga karena makin sedikitnya jumlah pasokan tanah liat yang ada di dekat daerah Kasongan. "Biasanya tanah liat diambil di Gunung Bagunjiwo deket sini, tapi mulai sedikt beralih ke daerah Godean. Otomatis dari segi jarak makin jauh trus pengaruh ke ongkos transportasinya," papar Pairan.

Memang tidak bisa sembarang tanah liat yang dapat digunakan dalam pembuatan gerabah. Dulu memang orang Kasongan membuat gerabah dari lempung hitam, tapi sekarang tuntutannya menggunakan lempung merah. "Kan ngak bisa hanya pakai lempung saja. Harus dicampur dengan wedi atau pasir halus supaya pas waktu pengeringan tidak gerabahnya tidak pecah," katanya.

Hal sama juga ada pada kayu bakar, harganya naik karena pasokannya kian terbatas. Biasanya warga mendapatkan kayu bakar untuk satu truknya dengan harga Rp 600 ribu, sekarang naik sampai Rp 1 juta. "Untuk satu truk biasanya habis dalam waktu tiga hari. Ini juga tergantung cuaca juga kalau tidak hujan kayu bisa dipakai sampai empat hari," jelasnya.

Kenaikan ini bahan baku ini memang menjadi tidak seimbang jika dibandingkan proses yang cukup panjang dalam pembuatan gerabah. Pembuatan gerabah atau keramik, mulai dari proses penggilingan, pembentukan bahan dengan menggunakan perbot, hingga penjemuran produk biasanya memakan waktu 2-4 hari. Produk yang telah dijemur itu kemudian dibakar selama 12 jam, sebelum akhirnya proses finishing dengan menggunakan cat tembok atau cat genteng.

Padahal harga gerabah oleh pengrajin sudah tidak bisa dikatrol lagi untuk menutupi ongkos pengeluaran yang kian membengkak. Sebut saja harga gerabah bentuk pot berkisar Rp 6 ribu sampai Rp 60 ribu, guci dari Rp 10 ribu sampai Rp 50 ribu, kap lampu dari Rp 15 ribu sampai Rp 35 ribu, dan set meja kursi dari Rp 100 ribu sampai Rp 400 ribu.

Pairan menuturkan omset saban bulannya sekarang mencapai Rp 3 juta sampai Rp 4 juta. Dengan margin keuntungan sekitar 20%. Padahal saat harga bahan baku belum naik dan pasar lagi bagus-bagusnya. Omset saban bulannya yang didapat Pairan paling kecil banget itu Rp 5 juta. "Kaya jaman dulu itu nyari duit gampang banget," jelasnya.

Umumnya pengrajin gerabah Kasongan memilih menunggu bola ketimbang mencari pelanggan. Pasalnya jauh lebih menguntungkan jika menjual secara retil ke pelanggan yang datang ke workshop. Diakui oleh Ngadiyana jika menjual secara retil margin keuntungannya bisa mencapai 80%. Berbeda jika dijual kesejumlah bakul atau pengecer, margin keuntungannya sangat tipis.

"Kalau kondisi saat sekarang ini yang lagi sepi, kita biasanya menghubungi bakul untuk menjual gerabah. Mengambil keuntungan sekitar Rp 5 ribu lah. Kalau ngecer bisa banyak," kata Ngadiyana.

Tidak dipungkiri lagi, semangat melanjutkan kerajinan turun-temurun ini lambat laun kian memudar. Sebagian generasi muda Kasongan tampaknya mulai enggan untuk melanjutkan usaha ini karena dinilai tidak mempunyai prospek. Sebut saja Bejo, yang sudah enam tahun sebagai pembuat gerabah. Yang berencana suatu saat akan berhenti menjadi pembuat gerabah. "Kalau dilihat kondisi sekarang dimana tanah liat semakin susah. Ke depan sih ngak tahu gimana nasibnya tapi saya ngak selamanya akan jadi tukang pembuat gerabah," jelasnya.

Cukup miris mendengarkanya, tapi ini menjadi kenyataan yang terjadi di industrik kerajinan di Kasongan dan mungkin hampir di seluruh industri kerajinan di Indonesia.

Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (2)

Terombang-Ambing Terkena Hantaman Badai Krisis

Krisis yang melanda dunia benar-benar telah memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan industri gerabah Kasongan. Oleh karena krisis inilah omset pengrajin langsung anjlok. Pasar ekspor yang merupakan pasar utama dari gerabah, sejak beberapa bulan terakhir sepi dari orderan. Dengan kondisi seperti ini tidak mengherankan jika beberapa workshop gerabah memilih melakukan efisiensi merumahkan sebagian pegawainya. Pengrajin pun kembali menekuni profesi alasanya diantara menjadi tukang becak.

GELIAT pertumbuhan industri gerabah Kasongan di kabupaten Bantul, Yogyakarta pasca gempa, bisa dibilang sangat mengagumkan. Dalam kurun waktu satu tahun, Kasongan mampu pulih bahkan pencampainya lebih besar ketimbang sebelum terjadi gempa. Lihat saja jumlah produksi gerabah Kasongan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pengrajin.

Namun, baru sebentar merasakan euphoria dari energi kebangkitan pasca terjatuh. Para pengrajin harus dihadapkan pada cobaan yang tidak kalah besar dampaknya jika dibandingkan tragedi 27 Mei 2006. Krisis yang melanda dunia, benar-benar mampu merontokkan industri kerajinan tanah liat ini secara perlahan.

Pasalnya, karena krisis ini orderan kerajinan gerabah menjadi sepi. Tentunya berdampak besar pada omset yang didapatkan oleh pengrajin gerabah saban bulannya. "Wah, selama krisis ini benar-benar anjlok. Turun bisa sampai 80% omset yang diterima," jelas Timbul Raharja, pemilik Timboel Ceramic.

Menurut Timbul, yang juga menjabat Ketua Koperasi Setya Bawana Kasongan menjelaskan bahwa keterpurukan ini karena permintaan dari pasar ekspor khususnya eropa yang tidak lain menyerap 80% dari keseluruhan pasar gerabah, sama sekali terhenti. "Biasanya saya bisa mengirim gerabah ke luar itu 60 kontiner, sekarang sekitar tiga sampai lima kontiner tiap bulannya," tuturnya.

Padahal, nilai tiap satu kontiner gerabah yang dikirim mencapai Rp 60 juta. Jadi bisa dibayangkan berapa besar nilai omset yang menghilang selama krisis ini. "Sekarang dengan tiga kontiner omset saya sekitar Rp 240 juta, coba kalau dulu bisa berapa saya dapatkan," jelasnya.

Kondisi ini dirasakan sejak pertengahan tahun 2008 sampai sekarang ini. Tidak mengherankan jika krisis yang sudah berjalan hampir satu tahun lamanya ini membuat pusing tujuh keliling. "Kondisinya lebih baik pasca gempa dimana secara internal Kasongan sakit tapi di luar artinya permintaanya tidak dan justru bagus. Sekarang malah kebalikannya, di luar sakit di sini tidak," kata Ngadiyana, salah satu pengrajin gerabah Kasongan.

Tidak mengherankan jika sebagian workshop gerabah di Kasongan memilih melakukan efisiensi. Dalam hal ini mengurangi jumlah tenaga kerjanya. "Ditempat saya kalau tenaga fungsionalnya ada dua yang dirumahkan, tetapi kalau tenaga pengrajinnya banyak yang kemudian tidak bekerja lagi," jelasnya.

Padahal Kasongan sebagai sentra industri, sejauh ini mampu menyerap sekian banyak tenaga kerja. Dengan 581 buah home industri yang ada, jumlah tenaga kerja mencapai 6000 pegawai. Tidak mengherankan jika beberapa bulan terakhir ini, mudah ditemukan orang Kasongan yang kemudian berprofesi menjadi tukang becak dan kembali ke sawah sambil memelihara bebek.

Sebenarnya dengan kondisi krisis yang menerpa ini, para pengrajin gerabah Kasongan tidak tinggal diam. Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya dengan mencari pasar baru selain pasar Eropa. "Kita mulai bidik pasar kaya di Eropa Timur, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Australia," jelas Timbul.

Tidak terkecuali menggali kembali potensi pasar di dalam negeri. Tetapi hal itu tidak semudah seperti mengembalikan telapak tangan. Khusus untuk pasar lokal, ternyata kendala terbesar pada biaya pengiriman yang ongkosnya bisa jauh lebih besar ketimbang ongkos untuk mengirim barang ke luar negeri.

Timbul yang juga seorang dosen di Institut Seni Indonesia ini, mengungkapkan pengalamannya bahwa ongkos pengirim barang di dalam bisa lebih besar 100% daripada untuk ekspor. "Saya pernah kirim ke Batam itu biasanya bisa mencapai US$ 2000, padahal kalau saya kirim ke Australia cuma US$1000," tuturnya.

Hal ini mungkin karena masih banyaknya praktek pungutan liar yang terjadi di setiap pengiriman barang. Besarnya imbas karena krisis ini, tentunya membuat kegelisahan tersendiri bagi Timbul, Ngadiyana, dan ratusan pengrajin gerabah Kasongan lainnya. Tidak mengherankan jika dalam hati meraka menjerit berharap ada langkah dari pemerintah membantu keberlangsungan industri gerabah. "Pemerintah di sini mungkin bisa membantu membangkitkan pasar gerabah lagi," kata Ngadiyana




Sentra Industri Gerabah Kasongan, Bantul, DIY (1)

Berusaha Untuk Bangkit Kembali

Sentra industri gerabah Kasongan Bantul sempat mengalami masa paling terpuruk, manakala gempa besar meluluhlantahkan seluruh sentra ini. Pasca gempa, tak ada aktivitas sekecil pun dapat dilakukan oleh para pengrajin gerabah. Butuh waktu sekurangnya satu tahun untuk dapat memulihkan kondisi kembali normal. Setelah kurun waktu tiga tahun ini, energi kebangkitan industri gerabah kembali tampak. Pengrajin mulai kebanjiran pesan dari berbagai daerah maupun pasar ekspor. Bahkan jumlah transaksi usaha gerabah tahun ini telah melampaui pencampaian sebelum gempa.

TANGGAL 27 Mei 2006, tanah Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul luluh lantah rata dengan bumi. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter benar-benar menghancurkan seluruh sentra gerabah paling besar di Yogyakarta. Ibarat jarum jam berhenti berputar, denyut nadi kehidupan warga Kasongan yang bertumpu pada kerajinan gerabah seolah terhenti.

"Semua bener-bener hancur, gerabah saya semua pecah trus tungku pembakaran juga rusak. Otomatis kita tidak bisa bikin gerabah. Ini lebih beruntung karena rumah tidak rusak parah, tapi bayangkan yang rumahnya turut rusak," papar Pairan, pemilik Pairan Ceramics.

Tidak lebih butuh waktu hampir satu tahun lamanya, kondisi Kasongan dapat kembali pulih seperti semula. Semua ini tentunya tidak lepas dari peran lembaga swadaya masyarakat yang ikut membantu membangun kembali Kasongan.

Diakui oleh Ngadiyana, ketua Kasongan Usaha Bersama bahwa pasca gempa 2006 aliran dana bantuan begit banyak datang ke Kasongan. Meski demikian tidak semuanya bantuan tersebut tepat sasaran sesuai kebutuhan warga yang rata-rata berprofesi sebagai pengrajin gerabah.

Meski demikian beberapa bantuan sesauai dengan harapan warga yakni seperti pembangunan bengkel kerja gerabah, bantuan bahan baku siap pakai selama satu tahun, dan perbaikan jalan sepanjang 1000 mx 3 m. "Selain itu juga dibantu pembuaan triple blower untuk pengering senilai Rp 60 juta," papar Ngadiyana.

Tidak mengherankan jika geliat industri gerabah mulai terasa hangat di sepanjang jalan desa yang jaraknya sekitar 8 km ke arah barat daya dari pusat Kota Yogyakarta atau sekitar 15-20 menit berkendaran dari pusat kota. Kendaraan-kendaran pribadi maupun wisata tampak hilir mudik disepanjang jalan dusun.

Gapura selamat datang di pintu masuk jalan dusun akan menyambut siapa saja yang berkunjung ke sentra kerajinan berbahan baku tanah liat atau lempung ini. Kios-kios gerabah dengan aneka kerajinan gerabah berjejer rapi disepanjang jalan desa memamerkan segala jenis gerabah.

Seperti kepala binatang, motif binatang, vas bunga, pot, meja kursi, dan sebagainya. "Padahal dulu itu warga sini cuma bisa bikin gerabah khusus keperluan rumah tangga seperti kendi (wadah air minum), kendil (wadah untuk memasak), gentong (wadah air), anglo (kompor – tempat pembakaran dengan bahan bakar arang untuk memasak)," papar Pairan.

Transaksi bisnis gerabah Kasongan pada 2009 bahkan telah melampaui pencapaian sebelum gempa. Jika pada 2006 transaksinya sebesar Rp 7,426 miliar, maka pada 2009 nilai produksinya mencapai Rp 8,053 miliar. Negara-negara seperti Australia, Belanda, Swis, Kanada, Selandia Baru, Jepang, Jerman, Belgia, dan Malaysia dikenal sebagai pasar gerabah Kasongan ini

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul mencatat, pada 2009 unit usaha kerajinan gerabah Kasongan jumlahnya telah mencapai 441 unit, melebihi jumlah sebelum gempa yang sebanyak 401 unit.

Gempa atau lindu memang telah meluluh lantahkan bumi Kasongan, namun hal itu tidak meluluhkan semangat warga Kasongan. Gerabah mempunyai nilai sendiri bagi masyarakat setempat dengan sejarah yang panjang mengikutinya. Sejak 1675, saat Kyai Song, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro, untuk pertama kali mengembangkan pembuatan tembikar untuk perkakas dapur. "Nama Kasongan itu diambil dari nama Kyai Song," papar Ngadiyana.

Tradisi membuat gerabah diteruskan oleh generasi Mbah Jembuh yang pada 1875-1885 mengembangkan gerabah untuk hiasan dinding dan celengan, dengan mengambil bentuk kepala binatang dan buah-buahan. Pada 1825, Mbah Rono dan Mbah Giyah juga mengembangkan anglo.